Munchen, awal Desember 1998
Aku baru saja tiba di kota ini. Jam menunjukkan pukul 12.05 siang. Aku sedang mengantar teman mencari telepon umum. Sambil tersaruk-saruk di antara serakan salju tebal, akhirnya kami mendapati telpon umum, sekitar 50 meter dari hotel tempat menginap.
Ia menilpon istrinya di Jakarta. Saya sedikit menjauh. Tak enak rasanya mendengar pembicaraan mesra mereka. Salju masih turun. Butir-butir putih melayang jatuh ke tanah, menumpuk satu sama lain. Matahari tak terlihat.
"Oke, sudah ya. Nanti malam saya akan telpon lagi," kata teman saya menutup pembicaraan. Dari telpon umum ini, saya merasa "kering dan kosong". Saya tak punya "teman" yang bisa saya ajak untuk sekedar berbagi rasa. Saya tak punya "teman" untuk sekedar berkata, "Hai, saya di Munchen. Dingin di sini, bagaimana kabarmu?"
Saya memang punya satu "teman". Tapi rasanya dia "jauh" sekali. Tapi ia kadang begitu "dekat". Tanpa saya sadari, sejak pertama kali bertemu, ia hadir tanpa saya undang dalam perasaan saya. Dan di Munchen ini, saya tak berani, meski hanya sekedar untuk menelponnya.
Saya bergegas masuk kamar hotel. Membuka mantel tebal, cuci muka, dan rebah di tempat tidur empuk yang ukurannya tak begitu besar. Hari belum begitu sore, tapi rasanya sudah agak gelap. Di layar televisi, tampak Robbie Williams melantunkan lagu anyarnya, Millenium.
Saya beranjak dan mendekati jendela kaca. Di kamar yang dilengkapi alat penghangat ini, kaca berembun. Permukaannya seakan terlapisi ribuan bintik-bintik air.
Sambil menerawang ke arah jalan yang kini seluruhnya tertutupi salju, jariku bergerak dan menulis di kaca. "Rani, I miss u so much".
No comments:
Post a Comment