Canberra, September 1999
Pintu kamarku di City Walk Hotel, Canberra, diketuk. Staf hotel meminta ijin untuk memasukkan handuk baru. Dengan sedikit malas, aku beranjak, membuka gerendel pintu, dan mengambil handuk tebal warna putih. Tak lupa kuucapkan terima kasih. Aku menengok arloji. Uh, jam 08.47 pagi.
Sepertinya aku begitu pulas tidur. Mungkin aku kecapekan, setelah seharian kemarin berada di gedung parlemen. Ketel putih di meja aku nyalakan. Tak lama kemudian, uap dari mulut ketel mengepul, disertai bunyi air yang mulai mendidih. Aku menuangkan air panas ke mangkuk kecil yang telah berisi teh celup. The hangat aku minum perlahan. Ujung cangkir menempel bibir atas dan bawah, mengalirkan air coklat manis ke tenggorokan.
Di antara korden, sinar matahari memasuki kamar membentuk garis putih panjang pada lantai dan dinding yang berwarna krem. Aku sibakkan korden tebal bermotif kembang-kembang. Kamar menjadi terang. Aku putar pula radio saku yang tergeletak di sisi tempat tidur. Terdengar Ronan Keating melantunkan syair-syair lagu :
The smile on your face, lets me know that you need me. There's a truth in your eyes saying you'll never leave me. The touch of your hand says you'll catch me, whenever I fall. You say it best, when you say nothing at all.
Aku sudah hampir 14 hari di sini. Rasanya hari berlalu dengan sangat lambat. Untuk membunuh waktu, aku biasanya duduk di taman di belakang hotel. Di bangku kayu aku menantap lalu lalang, orang-orang yang menikmati musim semi. Di tengah taman ini biasanya ada pertunjukan teater dadakan, musik jalanan, atau happening art.
Bosan di taman, aku menyusuri jalan di sekitar kawasan City Walk. Di sini ada toko buku, warung internet, kafe, supermarket, oriental take away (masakannya enak sekali, khas Asia, dan murah), dan gedung bioskop. Big Daddy adalah salah satu film yang tengah diputar. Terbersit ingin menonoton film ini. Niat ini saya urungkan. Saya membayangkan, pasti tak enak rasanya menonton tanpa "teman".
Ketika hari mulai gelap, inilah ketika "masa-masa sangat sulit" itu mulai datang. Di kamar hotel ini, mata sulit terpejam. Hati saya selalui teringat seorang "teman". Saya merenung dan bertanya : mengapa saya selalu ingat kepadanya? Mengapa ia datang tanpa saya bisa menolak? Mengapa saya begitu merindukannya?
Di hari ke-15, saya menilpon kantor di Surabaya. Saya katakan penugasan saya telah selesai dan saya akan pulang. Surabaya memberi ijin. Saya langsung ke kantor Qantas dan mengurus tiket pulang. Urusan tiket selesai lebih cepat. Saya mengemasi barang, dan "menikmati" kamar hotel untuk terakhir kalinya. Aku pasti akan mengingatnya. Di sinilah aku memutuskan : suatu saat nanti akan aku raih hatinya. Kamar hotel ini pulalah yang membuat aku merasa dekat, meski kami berbeda jarak ribuan kilometer.
Aku tenteng ransel hitam dan turun ke lobi. Aku minta staf hotel memanggil taksi ke bandara. Kurang dari 10 menit kemudian taksi datang, dan membawaku ke bandara. Dalam hati aku berkata, "Rani, aku kembali ke Jakarta."
No comments:
Post a Comment