Tuesday, April 22, 2003

McDonald's

Surabaya, pertengahan Juli 1997. Siang panas sekali. Tak terasa peluh membasahi jidat dan punggung. Saya dan seorang teman baru saja dari rumah sakit dan di perjalanan dia mengajak mampir ke restoran cepat saji McDonald's. Ia memesan ayam goreng, nasi, dan coke. Saya memesan menu yang sama. Di ruang ber-AC, tepaknya di pojok dekat jendela, saya menikmati menu tersebut.

Ini adalah kunjungan saya yang pertama ke sebuah restoran cepat saji. Sebenarnya, sejak tahun 1990, saya sudah kepingin mencicipi seperti apa sih rasanya menu di restoran yang juga biasa disebut McDi itu. Cuma keinginan itu belum tercapai. Ada beberapa alasan. Yang utama adalah, uang saku saya ketika itu terlalu sayang untuk masuk ke kasir McDonald's. Sekali makan di McDonalds bisa dipakai untuk makan tiga kali menu reguler saya. Ya sudah setiap kali lewat mall, saya hanya bisa melihat orang menikmati kentang goreng dan burger sambil menyeruput coke dingin.

Kesan saya, serbuan resto cepat saji ini berhasil menembus masyarakat sampai memuat gaya hidup mereka berubah. Resto ini menjadi tren. Tak heran resto ini bisa menembus sampai kota-kota kecil.

Sekarang saya duduk menikmati McDonald's. Rasanya lumayan. Ayamnya lebih garing dan sedikit lebih asin. Memang beda dengan menu warung langganan saya di depan kantor yang hanya menyediakan tempe goreng, rawon, kerupuk, dan es teh.

Kelak saya tahu ada kampanye untuk tidak makan di restoran cepat saji seperti ini. Para pegiat menyebut makanan itu junk dan melihat serbuan restoran cepat saji dari Amerika ini merusak ekonomi lokal. Kelak saya juga melihat, sebuah restoran McDonald's dirusak dalam protes antiglobalisasi. Di lain kesempatan saya melihat sebuah restoran cepat saji disatroni massa yang menentang Perang Irak 2003.

Ritme Senin 21/04/03
Ada pekerjaan di last minute. Seharusnya meninggalkan kerja pukul 07.10, tapi ada "bencana kecil" di situs log, akhirnya pulang molor sampai 07.30. London pagi ini lumayan hangat, jadi jalan kaki ke Charing Cross station tak terlalu dingin. Di perjalanan baru ingat, persediaan air minum habis. Ya sudah mampir dulu ke supermarket. Sampai rumah 09.30. Bersiap tidur, istri bilang mau ke rumah teman sekantor, ada makan-makan. Sampai siang di rumah teman, dan sore tiba kembali di rumah. Langsung ke kamar tidur. Pukul 23.00 turn up lagi di kantor.

Monday, April 21, 2003

Kapal Terbang

Sewaktu kecil saya tinggal di Welahan, sebuah desa di Jepara, Jawa Tengah. Desa ini terbilang cukup kecil, namun hampir setiap rumah mempunyai halaman yang cukup luas. Di halaman rumah itulah, bersama teman-teman yang lain saya sering melihat kapal terbang. Kadang, dari ekor kapal terbang, terlihat asap tipis yang memanjang. Teman-teman menyebutnya jet. Pesawat terbang ini terlihat sangat kecil, mungkin besarnya sama dengan sebatang korek api.

Sambil memandang pesawat yang semakin lama semakin kecil, dan akhirnya menghilang, saya bertanya-tanya seperti apa rasanya naik kapal terbang. Bagimana rasanya berada di ketinggian ribuan meter di atas bumi. Bagaimana rasanya menembus awan.

Berbagai pertanyaan itu terjawab sekitar 20 tahun kemudian. Saya bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta yang bergerak di bidang media, dan ditugaskan ke Palu, Sulawesi Tengah. Sehari sebelum keberangkatan, office assistant memberi tiket. Saya senang tapi juga nervous. Ini adalah penerbangan saya pertama dan saya tidak tahu prosedur naik pesawat terbang. Saya tahu naik pesawat tidak seperti baik bus antarkota, di mana penumpang bisa menghentikan bus di tengah jalan, naik ke bus, duduk, dan bayar ke kondektur. Begitu sampai tujuan, anda bilang ke kondektur, dan bus berhenti.

Untung teman kos pernah naik pesawat dari Surabaya ke Jakarta. Malam itu, sambil makan nasi goreng abang-abang keliling, dia menjelaskan prosedur naik pesawat dari mulai check ini, menyerahkan bagasi, dapat boarding pass, bayar tax, sampai kemudian reclaim bagasi. Berbekal juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) teman kos tadi, saya menjadi percaya diri. Ya, kalaupun lupa, saya bisa melihat calon penumpang lain, dan melakukan hal yang sama. Niat saya cuma satu, jangan sampai tingkah saya nanti memalukan.

Paginya, dari tempat kos, saya naik taksi ke bandar udara Sukarno-Hatta. Sopir taksi tanya di terminal mana saya turun. Terus terang saya tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Saya katakan saja saya naik Garuda dengan tujuan Palu.

Begitu sampai, saya langsung ke counter/desk Garuda, melewati Pak Satpam berkumis yang bermuka dingin. Saya check, ini dapat boarding pass, bayar tax, dan langsung ke ruang tunggu. Tidak lama kemudian, para penumpang diminta masuk ke badan pesawat. Saya duduk di dekat jendela. Sekitar 15 menit setelah saya duduk, pesawat perlahan bergerak, makin lama makin kencang, sampai desakan udara bisa terasa di dada. Hanya dalam hitungan detik, roda meninggalkan landasan, dan pesawat pun terbang menembus awan. Dari dekat jendela ini, objek di darat semakin lama semakin kecil, sampai yang terlihat hanyalah hamparan Laut Jawa yang berwarna biru kehijau-hijauan. Sementara di kanan saya terlihat awan putih bergumpal lembut seperti kapas.

Cuaca bagus dan secara umum perjalanan berlangsung mulus. Tak terasa pesawat sampai di Ujung Pandang. Saya harus menunggu beberapa saat di kota ini, sebelum boarding lagi menuju Palu.

Sejak itu saya sering naik pesawat terbang. Dari rute pendek seperti Surabaya-Denpasar, sampai rute panjang seperti Jakarta-Singapura-Hong Kong-London. Pengalamannya tentu berbeda. Yang pasti, saya selalu merasa pesawat yang tumpangi, dari permukaan sana, ia pasti hanya sebesar korek api.

(foto dari situs garuda indonesia)