Surabaya, pertengahan Juli 1997. Siang panas sekali. Tak terasa peluh membasahi jidat dan punggung. Saya dan seorang teman baru saja dari rumah sakit dan di perjalanan dia mengajak mampir ke restoran cepat saji McDonald's. Ia memesan ayam goreng, nasi, dan coke. Saya memesan menu yang sama. Di ruang ber-AC, tepaknya di pojok dekat jendela, saya menikmati menu tersebut.
Ini adalah kunjungan saya yang pertama ke sebuah restoran cepat saji. Sebenarnya, sejak tahun 1990, saya sudah kepingin mencicipi seperti apa sih rasanya menu di restoran yang juga biasa disebut McDi itu. Cuma keinginan itu belum tercapai. Ada beberapa alasan. Yang utama adalah, uang saku saya ketika itu terlalu sayang untuk masuk ke kasir McDonald's. Sekali makan di McDonalds bisa dipakai untuk makan tiga kali menu reguler saya. Ya sudah setiap kali lewat mall, saya hanya bisa melihat orang menikmati kentang goreng dan burger sambil menyeruput coke dingin.
Kesan saya, serbuan resto cepat saji ini berhasil menembus masyarakat sampai memuat gaya hidup mereka berubah. Resto ini menjadi tren. Tak heran resto ini bisa menembus sampai kota-kota kecil.
Sekarang saya duduk menikmati McDonald's. Rasanya lumayan. Ayamnya lebih garing dan sedikit lebih asin. Memang beda dengan menu warung langganan saya di depan kantor yang hanya menyediakan tempe goreng, rawon, kerupuk, dan es teh.
Kelak saya tahu ada kampanye untuk tidak makan di restoran cepat saji seperti ini. Para pegiat menyebut makanan itu junk dan melihat serbuan restoran cepat saji dari Amerika ini merusak ekonomi lokal. Kelak saya juga melihat, sebuah restoran McDonald's dirusak dalam protes antiglobalisasi. Di lain kesempatan saya melihat sebuah restoran cepat saji disatroni massa yang menentang Perang Irak 2003.
Tuesday, April 22, 2003
McDonald's
No comments:
Post a Comment