Wednesday, December 31, 2003

Sold Out

Istri saya pernah mengatakan saya bukan orang yang asyik diajak berbelanja. Awalnya saya bertanya-tanya, apa memang demikian. Namun, setelah mengamati bagaimana dia berbelanja, sadarlah saya, kalau saya memang bukan masuk kategori asyik diajak berbelanja.

Istri saya adalah tipe pembelanja teliti. Kalau misalnya ia membeli sesuatu, dan kemudian tahu di toko lain harganya lebih murah, katakanlah 100 rupiah, dia bisa menggerutu habis-habisan. "Saya bisa tidak tidur semalaman memikirkan perbedaan harga itu," ujarnya suatu ketika.

Sebaliknya dia akan sangat berbangga kalau mendapatkan barang bagus dengan harga yang sangat miring (kalau ini mah semua orang juga sepaham). Dan hari-hari mendatang, saya perkirakan, ia akan banyak pamer hasil "buruan" barang-barang bagus dengan harga sangat miring.

Ya, mulai Senin kemarin, London pesta diskon. Hampir semua toko menggelar diskon besar-besaran. Kata-kata seperti "sale", atau "up to 70% off" dengan mudah bisa dijumpai di kaca-kaca depan toko. Perhelatan ini biasa disebut January Sale.

Para pemilik toko memulai sale akhir Desember untuk mendongkrak pemasukan. Karena ternyata penjualan menjelang Hari Natal di bawah sasaran sehingga mereka perlu "memprovokasi" konsumen dengan memajukan jadwal sale.

Kiat dan pengalaman berburu barang saat sale bisa anda klik di link yang ada di pojok kiri halaman ini. Saya tak akan bercerita banyak lagi, karena bila anda klik link-link tersebut, semuanya tertulis lengkap.

Saya hanya ingin berbagai cerita ringan saja. Dua tahun lalu saya mendapati sebuah toko besar membanting harga handheld computer funky buatan Jepang. Di hari-hari biasa, produk itu dilepas seharga £ 100. Sore itu saya melihat seratusan produk itu terpajang manis di ruang yang menjual barang-barang elektronik.

Saya tengok harganya, ternyata cuma £ 18. Saya urung membeli karena memperkirakan besoknya pasti harga akan dibanting. Saya pun pulang. Besoknya saya kembali ke toko itu sambil membayangkan menenteng handheld ini dengan harga ya sekitar £ 15 lah.

Alangkah terkejutnya saya mendapati produk ini tak lagi nongkrong di seksi elektronik. Saya menghampiri seorang staf yang berdiri di pinggir ruangan. Saya tanya di mana produk buatan Jepang itu berada. Dengan tersenyum ia menjawab, "I am sorry, Sir. Sold out." "Maaf, semuanya habis terjual." (foto : www.bbc.co.uk)
Ersa

Saya hanya beberapa kali bertemu dan itupun sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu. Tapi itu tak mengurangi keterkejutan saya ketika mendengar Ersa Siregar tewas ketika terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI.

Ersa memang sejak pertengahan tahun ini disandera GAM. Upaya untuk membebaskannya selalu gagal. Uluran tangan PMI untuk memediasi pembebasannya bertepuk sebelah tangan. GAM dalam sebuah wawancara mengatakan mereka tidak bisa melepas Ersa, karena terus diburu TNI. TNI mengatakan tidak tahu ada Ersa ketika kontak senjata berlangsung.

Aliansi Jurnalis Independen, AJI, dan Komite Perlindungan Jurnalis di New York mendesak diadakannya penyelidikan atas insiden ini. AJI juga prihatin karena menurut organisasi ini, baik GAM maupun TNI tidak punya iktikad baik melindungi wartawan yang tengah melakukan tugas jurnalistik.

Saya sependapat bahwa komitmen melindungi wartawan memang kecil. Tidak hanya di kawasan konflik. Beberapa kali saya melihat bagaimana aparat keamanan dengan sengaja memukul wartawan yang tengah meliput aksi demonstrasi atau kerusuhan.

Saya menangkap kesan, di mata aparat, wartawan adalah pihak penyebar keonaran, pengganggu keamanan dan stabilitas. Asumsi ini akhirnya secara mudah membuat wartawan, di mata anggota keamanan, menjadi berseberangan. Dan karenanya tidak perlu dilindungi, dan kalau bisa dihabisi.

TNI memang menyelenggarakan pelatihan bagi wartawan yang meliput konflik bersenjata di Aceh. Tetapi saya juga merenungkan pendapat seorang rekan yang mengatakan, "Yang menjadi pemikiran adalah TNI tidak punya sejarah taking care of reporters."

Melihat wilayah dan kondisi konflik yang ada, sudah waktunya wartawan juga mendapatkan pelatihan meliput di "wilayah panas". Ini berlaku bagi mereka, yang akan meliput perang, atau kerusuhan bersenjata. Wartawan harus memahami "security awareness", negosiasi dengan kelompok bersenjata, psikologi sandera, dan dasar-dasar survival.

Pomeo "lebih baik pulang nama daripada tidak membawa berita" juga harus disingkirkan dari otak pewarta perang. Di antara desingan peluru, tidak bisa bermodal "bondo nekat". Saya pernah melihat foto beberapa wartawan yang tengah meliput kontak senjata TNI dan GAM. Seorang reporter tampak berlindung di balik gubuk kayu sementara sang jurukamera berada di balik pohon.

Mereka hanya mengenakan kaos, kemeja dan celana jins. Di kanan kiri mereka terlihat serdadu-serdadu dengan topi besi lengkap dengan seragam tempur. Saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi ketika peluru panas menghantam para wartawan ini.

Berita memang penting, tetapi yang lebih penting adalah nyawa. Bukankah lebih membanggakan pulang bawa berita dan masih menenteng nama?

Mungkin sudah menjadi garis takdir Ersa untuk menghadap ke haribaan-Nya setelah tertembus timah panas. Saya hanya bisa berdoa semoga Ersa damai di sisi-Nya. Semoga ini menjadi "Ersa" yang terakhir.

Tuesday, December 30, 2003

Hujan

Senin kemarin, langit London kembali abu-abu, sama sekali tak terlihat warna birunya. Sedari pagi, matahari seperti tak beranjak dari timur. Hari nyaris gelap. Hujan tak berhenti sejak pagi. Meski tidak deras, air seakan tumpah merata. Butir-butir air turun pelan di jendela kaca. It was a dull day. Really a dull day.

Tiba-tiba saya teringat dengan sopir taksi yang mengantar ke tempat kerja tanggal 26 Desember lalu. "Apa yang akan anda kerjakan bila hari mendung, hujan, dan gelap seperti ini," katanya sambil mengunyah apel. Matanya tertuju ke kaca depan, yang basah karena guyuran hujan.

Saya menjawab dalam hati : ya tinggal di rumah, duduk di sofa, berselimut tebal, menyeruput teh atau kopi susu panas, sambil menonton tv. Sang sopir lantas mengaku ia sangat suka menonton tivi dan acara kesukaannya adalah sinetron berjudul Eastender.

Hujan, dingin, dan angin kencang adalah warna pasti musim dingin di London. Keadaan ini hampir bisa ditemui setiap hari. Pemandangan sedikit beranjak lain, ketika memasuki Januari nanti. Salju biasanya turun di awal Januari.

Di winter seperti ini, saya memang lebih sering di rumah. Seperti Senin kemarin itu. Niat untuk keluar untuk sekedar membeli majalah saya urungkan. Saya lebih memilih bermain dengan Kirana. "Kirana, ayo ambil bola di bawah kursi." Kirana pun berlari mengambil bola dan melemparkannya ke depan tv. Hujan. Oh dear...
(foto:www.bbc.co.uk)

Wednesday, December 24, 2003

Rice Boiled in the Bag

Lebaran tahun ini, untuk kesekian kalinya kami tidak berada di tengah keluarga besar. Kami hanya bisa berkirim kabar lewat suara, sms, dan weblog. Meski kami tak mendengar petasan, menciup bau ketupat atau opor ayam kental, kami berupaya menikmati lebaran ala Inggris, seperti ditulis istri saya berikut.

Bukan Lebaran kalau tidak ada ketupat, begitu lah orang Indonesia memandang tradisi makan ketupat di Hari Raya Idul Fitri. Begitu kuatnya tradisi itu, ibu-ibu yang tinggal di London juga tidak ketinggalan menyiapkan ketupat di hari Lebaran atau yang disebut di Inggris sebagai Eid Mubarak.

Ada cerita menarik bagaimana ibu-ibu menemukan kiat cara mudah membuat ketupat ala London. Tentu saja tidak mungkin bisa menemukan janur di negara yang tidak ada pohon kelapa seperti Inggris. Tetapi seperti biasanya, ibu-ibu itu jeli dalam menemukan barang pengganti yang intinya adalah tidak ada janur plastik pun jadi.

Di setiap supermarket di Inggris dijual rice boil in the bag, yang artinya beras untuk direbus dalam kantung plastik. Dikemas dalam kotak berisi 4-5 plastik dengan harga sekitar 1 pounsterling (Rp 13 ribu), rice boil in the bag begitu populer dikalangan ibu-ibu di London khususnya menjelang Lebaran.

Supermarket sendiri, tidak bermaksud menjualnya untuk dibuat ketupat, tetapi sebagai cara mudah untuk memasak nasi. Beras yang sudah dibungkus plastik berlubang tinggal di rebus di air beberaba menit. Jadilah nasi ala Inggris, asal mateng tetapi masih pera (keras) untuk ukuran Indonesia.

Entah siapa yang pertama kali mencobanya, tetapi jika rice boil in the bag itu di rebus dengan air yang banyak dan waktu yang cukup lama (sekitar sejam), maka hasilnya serupa dengan ketupat, baik rasa maupun penampilannya. Apalagi jika jenis beras yang dipilih adalah Basmati, beras kualitas terbaik asal India. Dijamin, tidak kalah dengan ketupas asli Indonesia. Lauknya? Lengkap. Ada rendang, sambal goreng hati, opor ayam sate dll, karena bumbu-bumbu masakan Indonesia mudah di dapatkan di London.

Onyy Rohana misalnya dalam lebaran tahun ini mengundang beberapa tetangga asal Indonesia untuk bermalam takbiran di rumanya di kawasan Wimbledon. Hidangannya selayaknya Lebaran di Indonesia, rice boiled in the bag lengkap dengan sayur cap gomeh-nya dan juga opor.‘’Pokoknya suasana Lebaran Indonesia tetapi di pindah ke London,’’kata Ibu satu anak yang sudah puluhan tahun tinggal di London.

Muslim di London juga mendapatkan kemudahan lain yaitu tidak akan ketinggalan Sholat Idul Fitri.. Mengapa? Karena masjid-masjid di London tidak hanya menyelenggarakan sekali Sholat melainkan sampai beberapa kali. Tujuannya untuk mengakomodasi jumlah jemaah yang tidak seimbang dengan sedikitnya kapasitas Masjid.

Central Mosque, masjid terbesar di London ini menyelenggarakan Sholat Idul Fitri dari pagi sampai menjelang Dzuhur. Sehingga jika tidak bisa ikut Sholat yang paling pagi, masih bisa Sholat di sesi berikutnya. Begitu pula dengan masjid-masjid lokal di seputar London.

Uniknya, masjid di lokaliti-lokaliti London biasanya jamaahnya terdiri dari mayoritas asal negeri mereka, yang memang biasanya bertempat tinggal di satu wilayah tertentu. Jadi kalau masjid di kawasan East London misalnya,daerah tempat tinggal muslim asal India dan Pakistan, maka khotbah akan memakai bahasa India.

Karena itu lah sebagian besar warga Indonesia memilih sholat di KBRI, karena suasananya lebih meng-Indonesia: berkumpul dengan saudara setanah air dan khotbahnya pun berbahasa Indonesia. Tidak hanya itu, usai Sholat bisa beramai-ramai ke acara Silaturahmi warga Indonesia di kediaman resmi Duta Besar di kawasan London Utara. Acara ini paling ditunggu oleh para pelajar Indonesia di Inggris yang jumlahnya mencapai 500- an. Maklum, namanya juga anak kos apalagi di negeri orang jarang ketemu makanan Indonesia.

Muslim di Inggris sebagian besar adalah pendatang, India, Pakistan, Malaysia, Afrika dan juga Timur Tengah. Sementara orang Inggris biasanya masuk Islam ketika menikah dengan muslim. Karena itu juga orang Islam bule ini, biasanya bergabung dengan komunitas asal pasangan mereka termasuk dalam merayakan Lebaran. Jika menikah dengan orang Indonesia maka ia pun akan bergabung dengan komunitas orang Indonesia.

Ada kesamaan diantara muslim dari berbagai negara ini, yaitu sama-sama suka makan-makan. Karena itu bisa dipastikan selama Ramadhan dan Lebaran ini makanan pun berlimpah, baik di rumah atau pun di masjid. Apalagi porsi makan India,Pakistan dan juga orang dari kawasan Arab sangat luar biasa jika dibanding dengan porsi makan orang Indonesia.

Sebaliknya, Inggris adalah negara yang tidak terbiasa dengan acara kumpul-kumpul makan bersama dan juga berbagi makanan. Sehingga orang bule yang kebetulan bertetangga dengan muslim, baik asal Indonesia atau negara lain, awalnya terkaget-kaget karena seringnya di undang makan-makan atau pun dikirimi makanan.

Begitu juga pengalaman Luluk Prayitno, ‘’Ada tetangga yang sejak saya memakai baju muslim langsung menyingkir jika bertemu. Tetapi sejak dikirim makanan, sekarang berubah luar biasa ramah,’’kata Ibu yang gemar memasak ini.

Pengalaman ini sudah menjadi rahasia umum di London, tetangga bule yang pada awalnya biasanya bersikap hati-hati terhadap orang asing, apalagi jika tahu muslim. Mungkin karena pengaruh pemberitaan tentang terorisme,bom bunuh diri dll, tetapi sekali di kirim makanan langsung berubah sikapnya

Jadi bagi warga muslim di Inggris, makanan asli negara asal tidak hanya obat kangen dengan tanah air tetapi juga ampuh untuk menjalin silaturahmi dengan tetangga. Selamat Idul Fitri dari London. (Nurani Susilo)






Tuesday, December 23, 2003

Kawan lama

Sejak pindah ke London, komunikasi dengan beberapa teman terganggu, atau bahkan putus sama sekali. Orang mengatakan ini zaman internet, zaman email, chatting, instant messenger. Jadi mestinya, jarak dan waktu tidak menjadi masalah untuk menjalin komunikasi.

Namun kenyataannya, yang menimpa saya, tidak demikian. Saya kesulitan untuk melacak mereka. Sepertinya mereka ini hilang ditelan bumi. Makanya, saya begitu senang, ketika pada suatu pagi, tiba-tiba mendapatkan email dari Ribut, salah satu kawan lama saya. Ini adalah email pertama Ribut dalam 3 tahun terakhir.

Berikut kutipan emailnya. ''.... Aku pernah mencoba menemui Mulyono di rumahnya tapi dia lagi piknik keluarga. Anaknya sudah dua. Yang laen "blank" semua! Aku kangen sama Harno setiap kali lihat bis jurusan solo. Ilo, apakah kamu punya alamat teman-teman seperti Diyah, Hanandyo, Trisno, dlll? biar aku kirim surat ke mereka dan aku minta mereka gabung ke mailing list FPBS 1991. ... Ilo, kalo kamu pulang tolong kabari aku nanti kita ketemu. Kita ternyata makin tua, punya kehidupan masing-masing. Aku kangen semua anak Inggris dulu. Kalo bisa, kita reuni meskipun lewat email.''

Sejak itu, aku sering bertukar email. Baru terasa sekarang ini zaman email...
Happy birthday, Kirana

Akhir Oktober 2003, Kirana berulangtahun. Tak terasa Kirana sudah 3 tahun. Rasanya baru kemarin, Rani mengeluh mual dan pusing-pusing. Rasanya baru kemarin, kami memeriksakan diri ke rumah sakit di Newham. Rasanya baru, rumah kami di Upton Park menerima kehadiran penghuni baru.

Kirana sekarang besar. Ia masuk playgroup, seminggu tiga kali. Dan setiap pulang sekolah – begitu kami menyebutnya – Kirana selalu membawa hasil karya baru. Entah itu coretan warna-warni, topi lucu, akuarium mungil, dan pernik-pernik lain.

Kirana selalu bangga dengan hasil karyanya. ‘’Ayah, look at this,’’ teriak Kirana sambil menunjukkan kertas hitam dengan coretan hijau, kuning, dan merah. ‘’It’s a firework,’’ katanya sambil tersenyum.

Ia juga senang membantu mummy-nya memasak di dapur. Terutama kalau sedang bikin kue. Kue apa saja, dari kue tawar sampai kue pandan.

Tapi Kirana kadang juga badung. Maklum anak-anak. ‘’Kirana, ayo tidy up. Ambil mainan dan masukin ke box,’’ kata mummy-nya. Kirana pura-pura tidak mendengar. ‘’Kirana!’’ kata mummy-nya lagi. Kirana lari ke atas, meninggalkan mainan yang berceceran di ruang tamu.

Kirana turun lagi ke bawah, kali ini sambil menggandeng ayahnya. Kata mummy-nya, Kirana sering “cari perlindungan”, dengan kata lain ingin menghindari “tanggungjawab”. Kirana mungkin berharap, dengan menggandeng ayahnya, dia tidak dimarahi.

Tapi ia kadang juga baik. Usai bermain, ia merapikan seluruh mainannya, dan setelah itu ia pergi ke kamarnya, minta gosok gigi, dan lantas tidur.

Bila ia tidur, rumah rasanya sepi sekali. Seperti sekarang ini. Di bawah temaram lampu jingga di landing lantai dua, wajah Kirana damai sekali. Good night, Kirana, sleep tight. See you in the morning…

Wednesday, October 15, 2003

Kereta 07.28

London sudah memasuki musim gugur. Hawa terasa dingin. Udara lebih bersih, namun lebih padat. Angin dingin yang menerpa seakan dalam memasuki semua pori-pori. Dedaunan berwarna coklat, merah, atau kuning. Semuanya berserakan dan diterbangkan angin.

Berjalan di pagi hari, meski dengan jaket tebal dan syal, layaknya memasuki lorong dengan tembok balok es. Agak terhuyung menelusuri Strand menuju halte bus. Double Decker merah yang kunanti tiba dengan para penumpang yang tenggelam dengan pikiran masing-masing.

Stasiun Charing Cross sudah penuh. Aku menanti kereta 07.28 sambil memandang kopi-kopi yang mengepul di kedai sebelah. Croissant coklat tampak hangat di etalase kaca.

Kereta tiba. Masuk gerbong depan, aku cari kursi dekat jendela. Perlahan bergerak dan akhirnya sampai pada kecepatan puncak, kereta tiba di Abbey Wood. Naik ke platform bus, mengejar bus 229. Jam menunjukkan pukul 08.10 dan akupun mengetuk pintu rumah.

"Good morning, Ayah," kata si kecil Kirana. Tak terasa satu hari telah terlewati. Di musim gugur ini.


Tuesday, April 22, 2003

McDonald's

Surabaya, pertengahan Juli 1997. Siang panas sekali. Tak terasa peluh membasahi jidat dan punggung. Saya dan seorang teman baru saja dari rumah sakit dan di perjalanan dia mengajak mampir ke restoran cepat saji McDonald's. Ia memesan ayam goreng, nasi, dan coke. Saya memesan menu yang sama. Di ruang ber-AC, tepaknya di pojok dekat jendela, saya menikmati menu tersebut.

Ini adalah kunjungan saya yang pertama ke sebuah restoran cepat saji. Sebenarnya, sejak tahun 1990, saya sudah kepingin mencicipi seperti apa sih rasanya menu di restoran yang juga biasa disebut McDi itu. Cuma keinginan itu belum tercapai. Ada beberapa alasan. Yang utama adalah, uang saku saya ketika itu terlalu sayang untuk masuk ke kasir McDonald's. Sekali makan di McDonalds bisa dipakai untuk makan tiga kali menu reguler saya. Ya sudah setiap kali lewat mall, saya hanya bisa melihat orang menikmati kentang goreng dan burger sambil menyeruput coke dingin.

Kesan saya, serbuan resto cepat saji ini berhasil menembus masyarakat sampai memuat gaya hidup mereka berubah. Resto ini menjadi tren. Tak heran resto ini bisa menembus sampai kota-kota kecil.

Sekarang saya duduk menikmati McDonald's. Rasanya lumayan. Ayamnya lebih garing dan sedikit lebih asin. Memang beda dengan menu warung langganan saya di depan kantor yang hanya menyediakan tempe goreng, rawon, kerupuk, dan es teh.

Kelak saya tahu ada kampanye untuk tidak makan di restoran cepat saji seperti ini. Para pegiat menyebut makanan itu junk dan melihat serbuan restoran cepat saji dari Amerika ini merusak ekonomi lokal. Kelak saya juga melihat, sebuah restoran McDonald's dirusak dalam protes antiglobalisasi. Di lain kesempatan saya melihat sebuah restoran cepat saji disatroni massa yang menentang Perang Irak 2003.

Ritme Senin 21/04/03
Ada pekerjaan di last minute. Seharusnya meninggalkan kerja pukul 07.10, tapi ada "bencana kecil" di situs log, akhirnya pulang molor sampai 07.30. London pagi ini lumayan hangat, jadi jalan kaki ke Charing Cross station tak terlalu dingin. Di perjalanan baru ingat, persediaan air minum habis. Ya sudah mampir dulu ke supermarket. Sampai rumah 09.30. Bersiap tidur, istri bilang mau ke rumah teman sekantor, ada makan-makan. Sampai siang di rumah teman, dan sore tiba kembali di rumah. Langsung ke kamar tidur. Pukul 23.00 turn up lagi di kantor.

Monday, April 21, 2003

Kapal Terbang

Sewaktu kecil saya tinggal di Welahan, sebuah desa di Jepara, Jawa Tengah. Desa ini terbilang cukup kecil, namun hampir setiap rumah mempunyai halaman yang cukup luas. Di halaman rumah itulah, bersama teman-teman yang lain saya sering melihat kapal terbang. Kadang, dari ekor kapal terbang, terlihat asap tipis yang memanjang. Teman-teman menyebutnya jet. Pesawat terbang ini terlihat sangat kecil, mungkin besarnya sama dengan sebatang korek api.

Sambil memandang pesawat yang semakin lama semakin kecil, dan akhirnya menghilang, saya bertanya-tanya seperti apa rasanya naik kapal terbang. Bagimana rasanya berada di ketinggian ribuan meter di atas bumi. Bagaimana rasanya menembus awan.

Berbagai pertanyaan itu terjawab sekitar 20 tahun kemudian. Saya bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta yang bergerak di bidang media, dan ditugaskan ke Palu, Sulawesi Tengah. Sehari sebelum keberangkatan, office assistant memberi tiket. Saya senang tapi juga nervous. Ini adalah penerbangan saya pertama dan saya tidak tahu prosedur naik pesawat terbang. Saya tahu naik pesawat tidak seperti baik bus antarkota, di mana penumpang bisa menghentikan bus di tengah jalan, naik ke bus, duduk, dan bayar ke kondektur. Begitu sampai tujuan, anda bilang ke kondektur, dan bus berhenti.

Untung teman kos pernah naik pesawat dari Surabaya ke Jakarta. Malam itu, sambil makan nasi goreng abang-abang keliling, dia menjelaskan prosedur naik pesawat dari mulai check ini, menyerahkan bagasi, dapat boarding pass, bayar tax, sampai kemudian reclaim bagasi. Berbekal juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) teman kos tadi, saya menjadi percaya diri. Ya, kalaupun lupa, saya bisa melihat calon penumpang lain, dan melakukan hal yang sama. Niat saya cuma satu, jangan sampai tingkah saya nanti memalukan.

Paginya, dari tempat kos, saya naik taksi ke bandar udara Sukarno-Hatta. Sopir taksi tanya di terminal mana saya turun. Terus terang saya tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Saya katakan saja saya naik Garuda dengan tujuan Palu.

Begitu sampai, saya langsung ke counter/desk Garuda, melewati Pak Satpam berkumis yang bermuka dingin. Saya check, ini dapat boarding pass, bayar tax, dan langsung ke ruang tunggu. Tidak lama kemudian, para penumpang diminta masuk ke badan pesawat. Saya duduk di dekat jendela. Sekitar 15 menit setelah saya duduk, pesawat perlahan bergerak, makin lama makin kencang, sampai desakan udara bisa terasa di dada. Hanya dalam hitungan detik, roda meninggalkan landasan, dan pesawat pun terbang menembus awan. Dari dekat jendela ini, objek di darat semakin lama semakin kecil, sampai yang terlihat hanyalah hamparan Laut Jawa yang berwarna biru kehijau-hijauan. Sementara di kanan saya terlihat awan putih bergumpal lembut seperti kapas.

Cuaca bagus dan secara umum perjalanan berlangsung mulus. Tak terasa pesawat sampai di Ujung Pandang. Saya harus menunggu beberapa saat di kota ini, sebelum boarding lagi menuju Palu.

Sejak itu saya sering naik pesawat terbang. Dari rute pendek seperti Surabaya-Denpasar, sampai rute panjang seperti Jakarta-Singapura-Hong Kong-London. Pengalamannya tentu berbeda. Yang pasti, saya selalu merasa pesawat yang tumpangi, dari permukaan sana, ia pasti hanya sebesar korek api.

(foto dari situs garuda indonesia)