Ersa
Saya hanya beberapa kali bertemu dan itupun sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu. Tapi itu tak mengurangi keterkejutan saya ketika mendengar Ersa Siregar tewas ketika terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI.
Ersa memang sejak pertengahan tahun ini disandera GAM. Upaya untuk membebaskannya selalu gagal. Uluran tangan PMI untuk memediasi pembebasannya bertepuk sebelah tangan. GAM dalam sebuah wawancara mengatakan mereka tidak bisa melepas Ersa, karena terus diburu TNI. TNI mengatakan tidak tahu ada Ersa ketika kontak senjata berlangsung.
Aliansi Jurnalis Independen, AJI, dan Komite Perlindungan Jurnalis di New York mendesak diadakannya penyelidikan atas insiden ini. AJI juga prihatin karena menurut organisasi ini, baik GAM maupun TNI tidak punya iktikad baik melindungi wartawan yang tengah melakukan tugas jurnalistik.
Saya sependapat bahwa komitmen melindungi wartawan memang kecil. Tidak hanya di kawasan konflik. Beberapa kali saya melihat bagaimana aparat keamanan dengan sengaja memukul wartawan yang tengah meliput aksi demonstrasi atau kerusuhan.
Saya menangkap kesan, di mata aparat, wartawan adalah pihak penyebar keonaran, pengganggu keamanan dan stabilitas. Asumsi ini akhirnya secara mudah membuat wartawan, di mata anggota keamanan, menjadi berseberangan. Dan karenanya tidak perlu dilindungi, dan kalau bisa dihabisi.
TNI memang menyelenggarakan pelatihan bagi wartawan yang meliput konflik bersenjata di Aceh. Tetapi saya juga merenungkan pendapat seorang rekan yang mengatakan, "Yang menjadi pemikiran adalah TNI tidak punya sejarah taking care of reporters."
Melihat wilayah dan kondisi konflik yang ada, sudah waktunya wartawan juga mendapatkan pelatihan meliput di "wilayah panas". Ini berlaku bagi mereka, yang akan meliput perang, atau kerusuhan bersenjata. Wartawan harus memahami "security awareness", negosiasi dengan kelompok bersenjata, psikologi sandera, dan dasar-dasar survival.
Pomeo "lebih baik pulang nama daripada tidak membawa berita" juga harus disingkirkan dari otak pewarta perang. Di antara desingan peluru, tidak bisa bermodal "bondo nekat". Saya pernah melihat foto beberapa wartawan yang tengah meliput kontak senjata TNI dan GAM. Seorang reporter tampak berlindung di balik gubuk kayu sementara sang jurukamera berada di balik pohon.
Mereka hanya mengenakan kaos, kemeja dan celana jins. Di kanan kiri mereka terlihat serdadu-serdadu dengan topi besi lengkap dengan seragam tempur. Saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi ketika peluru panas menghantam para wartawan ini.
Berita memang penting, tetapi yang lebih penting adalah nyawa. Bukankah lebih membanggakan pulang bawa berita dan masih menenteng nama?
Mungkin sudah menjadi garis takdir Ersa untuk menghadap ke haribaan-Nya setelah tertembus timah panas. Saya hanya bisa berdoa semoga Ersa damai di sisi-Nya. Semoga ini menjadi "Ersa" yang terakhir.
No comments:
Post a Comment